ANALISIS PENGGUNAAN BAHASA HANGOUL
PADA SUKU CIA - CIA KABUPATEN BAU BAU
DISUSUN
OLEH :
NAMA : RIA ENES DWI PUTRI H
NPM : 1326020010
MK : BAHASA INDONESIA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2013
PEMBAHASAN
Bahasa Cia-Cia atau Bahasa Buton Selatan,
ialah sejenis bahasa Austronesia
yang ditutur di sekitar Kota Bau-Bau di selatan Pulau Buton di yang terletak di tenggara Pulau Sulawesi di Indonesia. Dulunya,
bahasa Cia-Cia menggunakan sejenis abjad Arab bernama "Gundul"
yang tidak memakai tanda untuk bunyi vokal.
Pada tahun 2009, bahasa ini menarik perhatian dunia ketika Kota Bau-Bau
menerima tulisan Hangul Korea untuk dijadikan sistem tulisan
bahasa Cia-Cia. Dan mengajar anak-anaknya sistem tulisan baru ini berpandukan
buku teks yang dihasilkan oleh Persatuan Hunminjeongeum.
Institut tersebut telah bertahun-tahun menyebarkan penggunaan abjad Korea ke
kaum-kaum minoritas yang tiada sistem tulisan sendiri di merata Asia.
Abjad
Cia-Cia
|
||||||||||||||||||
Konsonan
|
ㄱ
|
ㄲ
|
ㄴ
|
ㄷ
|
ㅌ
|
ㄸ
|
ㄹ
|
ᄙ*
|
ㅁ
|
ㅂ
|
ㅸ
|
ㅍ
|
ㅃ
|
ㅅ
|
ㅇ
|
ㅈ
|
ㅉ
|
ㅎ
|
Latin
|
g
|
k
|
n
|
d
|
dh
|
t
|
r, l
|
m
|
b
|
v
|
bh
|
p
|
s
|
tiada (awal), ', ng
(tengah, akhir)
|
j
|
c
|
H
|
|
IPA
|
[ɡ]
|
[k]
|
[n]
|
[ɗ]
|
[d]
|
[t]
|
[r], [l]
|
[m]
|
[ɓ]
|
[β]
|
[b]
|
[p]
|
[s]
|
-, [ʔ], [ŋ]
|
[dʒ]
|
[tʃ]
|
[h]
|
|
Vokal
|
ㅏ
|
ㅔ
|
ㅗ
|
ㅜ
|
ㅣ
|
|||||||||||||
Latin
|
a
|
e
|
o
|
u
|
i
|
|||||||||||||
IPA
|
[a]
|
[e]
|
[o]
|
[u]
|
[i]
|
* ᄙ bukanlah huruf yang terpisah. Konsonan /r/ dan /l/
tengah dibedakan dengan menulis huruf ㄹ tunggal untuk /r/ dan ganda untuk /l/.
Huruf ㄹ ganda harus
ditulis dalam dua suku kata. Konsonan /l/ akhir ditulis dengan huruf ㄹ tunggal; untuk
konsonan /r/ akhir, huruf vokal kosong ㅡ ditambah. Huruf vokal kosong (으) juga digunakan
untuk /l/ awal.
Dalam proses
menyesuaikan hangul dalam struktur bahasa Cia-Cia, huruf ㅸ yang tidak
terpakai dalam bahasa Korea, digunakan lagi untuk mewakili konsonan /v/.
Contoh:
아디 세링
빨리 노논또
뗄레ᄫᅵ시. 아마노 노뽀옴바에
이아 나누몬또
뗄레ᄫᅵ시 꼴리에 노몰렝오.
Adi
sering pali nononto
televisi. Amano nopo'ombae ia nanumonto
televisi kolie nomolengo.
Kosakata
Angka
1–10
|
||||||||||
Satu
|
Dua
|
Tiga
|
Empat
|
Lima
|
Enam
|
Tujuh
|
Delapan
|
Sembilan
|
Sepuluh
|
|
Bahasa
Cia-Cia (Hangul)
|
디세
|
루아
|
똘루
|
빠아
|
을리마
|
노오
|
삐쭈
|
활루
|
시우아
|
옴뿔루
|
dise
|
rua
|
tolu
|
pa'a
|
lima
|
no'o
|
picu
|
walu
|
siua
|
Ompulu
|
Kata kerja
- 부리 buri 'menulis'
- 뽀가우 pogau 'berbicara'
- 바짜안 baca'an 'membaca.'
Kata nama
- 까아나 ka'ana 'rumah'
- 시골라 sigola 'sekolah'
- 사요르 sayor 'sayur'
- 보꾸 boku 'buku'
Ucapan
- 따리마 까시 Tarima kasi 'Terima kasih'
- 인다우 미아노 찌아찌아 Indau miano Cia-Cia 'Saya orang Cia-Cia'
- 인다우 뻬엘루 이소오 Indau pe'elu iso'o 'Saya cinta kamu'
- 모아뿌 이사우 Moapu isau 'Maafkan saya'
- 움베 Umbe 'Ya'
- 찌아 Cia 'Tidak'
Demikian
sedikit penjelasan tentang bahasa suku cia – cia. yang menggunakan aksara
Hangeul-korea untuk menulis kata-kata. Dan aksara Hangeul itu sendiri di
perkenalkan oleh seorang professor dari Seol Nationl Unirversity Lee Ho – young.
Saat datang ke pemukiman suku tersebut, Lee pun mengajarkan huruf Hangeul
kepada anggota suku sejak 21 Juli 2009. Tujuannya, agar Suku Cia-cia dapat
memelihara bahasa aslinya meski menulis dengan huruf Korea.
Mereka
menggunakan huruf Hangeul Menurut profesor dari Seol National University Lee
Ho-Young, Suku Cia-cia sebenarnya bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia. Namun
suku tersebut buta huruf sehingga tidak bisa menulis.
"Cia-Cia
sekarang dapat memelihara bahasa asalnya (dengan menuliskannya mengunakan
Hangeul)," kata Lee seperti dilansir The Straits Times, Jumat (7/8/2009).
Selain
membantu, Lee rupanya memiliki tujuan lain. Sebagai ahli bahasa, Lee ingin
huruf Hangeul dapat digunakan di luar Korea. "Saya harap ini akan menjadi
batu loncatan untuk untuk menyebarkan Hangeul ke luar," kata Lee.
Dari
pernyatan Professor Lee Ho-Young dalam beerapa artikel kami berpendapat bahwa
apa yang dilakukan oleh Professor Lee ini tidak hanya semata - mata ingin
membantu suku Cia - cia tetapi ada niat terselubung dalam hai ini suatu politik
untuk menyusupi dan munyebar luaskan bahasa Hangeul di masyarakat Cia - cia. Itu
terlihat jelas dari upayanya untuk mengajarkan aksara Hangeul-korea. Itu
menunjukan bahwa beliau hanya peduli pada pengembangan dan mempromosikan budaya
mereka secara global tampa memperdulikan budaya asli masyarakat cia – cia.
Bahkan lebih dari itu pihak Pemerintah
Kota Bau-Bau bekerja sama dengan Hunminjeongeum Research Institute, lembaga
riset bahasa Korea telah menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai
bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Huruf ini dipelajari mulai dari tingkat SD
hingga SMA. Sejak saat itulah nama Cia-Cia populer di Korea.
Banyak jurnalis dari Korea dan Jepang
datang ke Bau-bau untuk meliput keantusiasan masyarakat sana akan bahasa Korea.
Itu membuat beberapa kali liputan tentang Bau-Bau diputar di televisi
internasional.
Plang-plang jalan di kota Bau-Bau
juga banyak yang memakai abjad Hanguel. Beberapa siswa, guru, masyarakat
Cia-Cia, serta pihak Pemkot Bau-Bau pernah diundang langsung ke Korea. Mereka
mendemonstrasikan kemampuan menuliskan huruf Hanggeul untuk bahasa Cia-Cia.
Bahkan, beberapa guru dari Korea didatangkan langsung ke Bau-Bau untuk
mengajarkan huruf Haenggul. Mereka menyempurnakan kurikulum serta menjadi
pembuka jalan bagi dibangunnya Pusat Kebudayaan Korea. Warga Cia-Cia sendiri
melihat itu dengan penuh kebanggaan. Beberapa warga telah dikirim ke Korea
untuk memperdalalm pengetahuan bahasa.
Tentu hal ini dapat menjadi kebanggan
bagi kita warga Indonesia karena salah satu bagian negeri ini dapat dikenal
luas oleh masyarakat global atau dapat pula menjadi pukulan bagi kita dan
pemerintah khususnya yang dapat dikatakan kurang memiliki kepedulian bagi
kebudayaannya sendiri.
Yang
membuat kami bingung adalah “MENGAPA HARUS KEBUDAYAAN
KOREA?”
Pertanyaan ini kami ajukan untuk memastikan alasan Pemerintah
melegalkan adaptasi kebudayaan Korea bagi anak – anak suku Cia-cia. Objek
sasaran ini sangat strategis. Sebab mereka adalah generasi baru dan nakhoda
Buton ditengah samudera budaya daerah dan global.
Dalam beberapa artikel yang pernah kami baca melalui beberapa situs internets selama ini, terhadap sejarah dan kebudayaan Buton, upaya sosialisasi dan adaptasi pemerintah ini tidak memiliki dasar yang kuat. Bahkan, menurut kami apa yang dilakukan oleh Professor Lee Ho-Young itu hanyalah srategi dari pihak korea untuk menyebar luaskan kebudayaan korea dan upaya untuk memusnahkan kebudayaan Buton.
Dalam beberapa artikel yang pernah kami baca melalui beberapa situs internets selama ini, terhadap sejarah dan kebudayaan Buton, upaya sosialisasi dan adaptasi pemerintah ini tidak memiliki dasar yang kuat. Bahkan, menurut kami apa yang dilakukan oleh Professor Lee Ho-Young itu hanyalah srategi dari pihak korea untuk menyebar luaskan kebudayaan korea dan upaya untuk memusnahkan kebudayaan Buton.
Seperti
yang kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia memiliki beragam kebudayaan,
berikut aksara dalam membuat perubahan pegetahuan dan nilai-nilai budayanya.
Kita tidak perlu melihat terlalu jauh di Sulawesi misalnya, tiga daerah yang
memiliki ikatan erat di masa lalu adalah Wolio (Buton), Wotu (Luwu), dan Layolo
(Selayar).
Ketiganya,
dari hasil studi lingusitik, memiliki persentase kimiripan bahasa yang tinggi, yang
mengindikasikan kedekatan akar kebudayaannya. Dalam kaitan itu, masyarakat
Bugis-Makassar telah lama dikenal menggunakan aksara Lontara sebagai media komunikasinya.
Tetapi, mengapa kita tidak beralternatif untuk menggunakan media itu? Terlepas
dari aspek dominasi budaya dan politiknya, yang dimiliki setiap daerah itu,
alternatif ini masih dalam batas-batas terawang kebudayaan nasional. Akhirnya,
selamatkan kebudayaan daerah demi masa depan kebudayaan nasional.
Lagi pula menurut kami pemilihan dan penggunaan aksara
Hangeul-korea sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan didak tepat
karena seharusnyanya berlatarkan sejarah dan budaya masyarakat penggunanya.
Sebagai contoh, pemanfaatan aksara Latin di Indonesia tidak lepas dari pengaruh
bangsa Barat (Eropa) di Bumi Pertiwi pada masa silam. Demikian juga penggunaan
aksara Pallawa pada sejumlah Prasasti di Pulau Jawa erat kaitannya dengan
interaksi masyarakat Nusantara dengan masyarakat kebudayaan India, khususnya
pada periode Hindu-Budha.
Atau
alternatif lainnya adalah pemanfaatan aksara Arab dan Latin bagi kaum belia
akademik Cia-cia. Penggunaan aksara Arab
berbahasa Melayu, Arab, dan Wolio pada sejumlah naskah Buton merupakan buah
interaksi pendukung kebudayaan itu di masa lalu. Aksara dan bahasa Arab,
sebagai alat transformasi pesan-pesan Ilahi, tersebar seiring perkembangan
agama Islam di Buton, dengan penganjur pada masa awalnya adalah Syekh Abdul
Wahid dari Arab. Juga bahasa Melayu yang pernah menjadi lingua franca dalam dunia pelayaran dan perdagangan maritim
Nusantara. Akar kebudayaan terakhir ini sangat kuat terutama pada fase awal
sejarah politik Buton di abad XIII Masehi. Empat orang pengembara atau juga
dikenal dengan Mia Pata Miana (Sijawangkati, Simalui, Sipanjonga, dan
Sitamanajo) yang mendirikan Kerajaan Buton berasal dari Negeri Melayu di
Semenanjung.
Pendeknya, bila tahap – tahap kebudayaan itu digunakan
sebagai alat transformasi pengetahuan dan kebudayaan di Kota Bau-bau, maka
jelas memiliki akar sejarah yang kuat. Sejalan dengan usaha itu pula, jika pihak
Pemerintah Kota benar – benar besikeran ingin menggunakan frase budaya (Asia) Timur di
masyarakat Buton Cia-cia, maka menurut pendapat kami penggunaan aksara China sedikit lebih tepat karena sedikit
memiliki dasar sejarah dengan masyarakat Cia-cia. Mengapa kami berpendapat
begitu? Karena dalam tradisi lisan Buton dikatakan, bahwa Ratu Buton pertama
adalah Wa Kaa Kaa berasal dari China. Pendahulunya adalah Dungku Cangia yang
menetap dan menjadi raja di Negeri Tobe-Tobe. Konon, setelah rombongan Wa Kaa
Kaa mendarat di Wabula (Pasar Wajo), mereka bergabung dibawah pimpinan Dungku
Cangia menuju Lelemangura, kelak menjadi pusat kerajaan. Dari Wa Kaa Kaa
inilah, menurut tradisi lisan itu, berkembang masyarakat Cia-cia (di
Wabula).
Lalu, mengapa aspek
kebudayan Korea yang kini dipilih sebagai media perubahan pengetahuan dan
kebudayaan bagi anak – anak suku Cia-cia di Kota Bau-bau? Jika pemerintah Korea
bersimpati pada penyelamatan kebudayaan daerah di Indonesia, seperti
diungkapkan oleh Professor Lee Ho-Young dalam
artikelnya, mengapa upaya yang dilakukan tidak berberdasarkan pada pemupukan
kebudayaan daerah yang sudah ada sejak awal, sehingga dapat terjaga kelangsunga
dan kelestarianya. Bukan menggantikannya, apalagi memaksakannya, dengan
kebudayaan baru menggunakan pemikat teknologi dan bantuan kerjasama dalam
pembangunan tapi tujuan sebenarnya untuk menyusupi kebudayaan korea kedalam
budaya masyarakat cia cia
Penggunaan
aksara Hangeul-Korea di Bau-bau mengingatkan kami akan apa yang pernah kami
baca tentang kajian masalah suku cia – cia ini, menurut pendapat yang dikatakan
oleh Bapak Antropologi Indonesia Koentjaraningrat, yaitu “praktek mentalitas
menerabas”. Dalam artian demi mencari jalan pintas dan instan untuk sebuah
popularitas publik, sebagai daerah yang mampu mengadaptasi dan menyembangkan
kebudayaan asing di era global, tetapi dampaknya kekayaan kebudayaan nasional
tergadai.
Mungkin
pertanyaan nya sekarang bagimana cara kita menyelesaikan masalah bahasa suku
cia – cia ini agar tidak berkepanjangan??? Tentu ini menjadi PR kita bersama.
Dan
pertanyaan selanjutnya apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat Indonesia
khususnya sebagai mahasiswa???
Bagaimana
mungkin orang asinglah yang lebih peduli terhadap kebudayaan bangsa kita???
Ada beberapa hal yang menurut pendapat kami mengapa mengajarkan
aksara Hangeul pada suku Cia –
ciasangat tidak tepat karena dapat mempercepat kepunahan
bahasa Cia-Cia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Hal – hal tersebut akan kami jelaskan dibawah ini.
v Hal pertama berhubungan dengan Undang-undang Kebahasaan yaitu UU No. 24
tahun 2009. Pada Pasal 42 ayat 1 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib melakukan
pengembangkan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan sastra daerah agar tetap
memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan
perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya
Indonesia. Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah ini
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dijelaskan tata caranya pada ayat 2 yaitu
dilakukan dengan cara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah
daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan. Pada kasus Cia-Cia, terlihat
jelas bahwa pemerintah Bau-Bau melakukan pelanggaran terhadap kedua ayat pada
pasal 34 ini. Pemerintah Bau-Bau jelas secara sengaja tidak melakukan
perlindungan terhadap bahasa Cia-Cia yaitu dengan membiarkan bahasa dan aksara
Korea diajarkan pada suku Cia-Cia (pelanggaran pasal 1). Selain itu, pemerintah
Bau-Bau melakukan kejasama ini tanpa sepengetahuan dan koordinasi dengan
lembaga kebahasaan, dalam hal ini adalah Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional atau Balai Bahasa setempat (pelanggaran pasal 2), dan ini adalah jelas
sebuah pelanggaran pelanggaran konstitusi yang dapat berakibat adanya tuntutan
hukum bagi pemerintah daerah Bau-Bau.
v Hal kedua berhubungan dengan politik bahasa. Dalam perspektif politik
bahasa, mengizinkan tawaran pemerintah Korea untuk “mengkoreakan” bahasa Cia-Cia
dengan cara mengajarkan aksara Hangeul kepada suku Cia-Cia seakan membuka pintu
lebar-lebar kepada bangsa lain untuk berbuat yang serupa. Pemerintah Jepang
yang sangat menggebu-gebu menunggu kesempatan serupa, pastinya akan menggunakan
kasus Cia-Cia untuk menekan pemerintah Republik Indonesia agar diijinkan melakukan hal serupa.
Jika pemerintah Jepang tidak diijinkan, berarti pemerintah Indonesia di anggap pilih kasih, dan
ini dapat berdampak negatif pada hubungan bilateral dua negara. Bila diijinkan,
maka akan ada banyak bangsa lain yang akan menawarkan hal serupa. Sangat ironis
jika Indonesia yang selama ini dikenal kaya akan bahasa lokal kemudian berubah
statusnya menjadi kaya karena menampung bahasa dan sistem tulisan negara-negara
lain. Bantuan ekonomi dan promosi besar-besaran yang dilakukan pemerintah
Koreapun sebagai timbal balik dari pengajaran bahasa Hangeul juga dapat
berakibat negatif pada bahasa dan budaya Cia-Cia. Ketika banyak wisatawan
maupun pemegang modal Korea datang ke Bau-Bau, sedangkan masyarakat Bau-Bau
tidak siap, maka akan menyebabkan apa yang disebut cultural shock, laguage
shock, dan mind shock (shock budaya, bahasa, dan pikiran) yang
apabila tidak hati-hati dapat berdampat negatif pada pudarnya penggunaan bahasa
dan budaya Cia-Cia karena proses asimilasi budaya yang ekstrem.
v Hal ketiga berhubungan dengan budaya. Seperti yang telah disebutkan di
atas, mengajarkan aksara Hangeul tidak mungkin bisa tanpa mengajarkan bahasa
Korea. Mengajarkan bahasa Korea (yang telah baku) berarti pula mengajarkan tata
bahasa Korea dan aspek-aspek linguistik lainnya. Jika hal-hal ini terjadi,
interferensi bahasa Korea terhadap bahasa Cia-Cia akan sangat mungkin terjadi.
Selain itu, mengajarkan bahasa Korea tidak mungkin pula dilakukan tanpa
mengajarkan budayanya. Posisi budaya Korea yang lebih kuat (karena budaya
bangsa dan bukan suku) akan menghegemoni budaya Cia-Cia, dan pada akhirnya
budaya Cia-Cia akan hilang.
v Hal keempat berhubungan dengan aspek pendidikan. Jika proses
pembelajaran di Cia-Cia dilakukan dengan menggunakan aksara Hangeul, dan tiap
siswa Cia-Cia lebih fasih menggunakan huruf Hangeul daripada huruf latin, maka
hal ini tentu saja tidak baik bagi lulusan sekolah Cia-Cia, utamanya lulusan
yang akan melanjutkan ke sekolah yang berada di luar daerah Cia-Cia. Bisa jadi,
siswa dari Cia-Cia ini akan tertinggal dari siswa daerah lain karena
kekurangmahirannya dalam menulis dengan huruf latin. Hal ini tentu saja ini
dapat memperburuk kualitas pendidikan rakyat Cia-Cia
v Hal kelima berhubungan dengan kemurnian bahasa Cia-Cia. Sistem aksara
Hangeul bisa jadi berbeda dengan sistem bahasa lisan bahasa Cia-Cia. Untuk
mencocokkan dua sistem berbeda ini dapat dilakukan dua cara, yaitu: (1)
memodifikasi aksara Korea sehingga cocok engan bahasa Cia-Cia, atau (2)
memodifikasi bahasa Cia-Cia sehingga cocok dengan aksara Korea. Apapun
pilihannya, salah satu dari sistem ini harus mengalah dan mengalami modifikasi,
sehingga output dari program ini adalah bahasa Cia-Cia yang ditulis dengan
Aksara Hangeul yang sudah tidak murni lagi.
v Hal keenam berhubungan dengan penelitian Linguistik. Penggunaan huruf
Hangeul dapat menyulitkan proses kodifikasi dan perekaman bahasa yang dilakukan
oleh linguis, etnolinguis, dialektologis nusantara. Kesulitan ini muncul karena
untuk mempelajari bahasa Cia-Cia, para linguis nusantara harus melewati dua
tahapan sulit yaitu mempelajari tulisan terlebih Hangeul dahulu baru kemudian
mempelajari bahasa Cia-Cia itu sendiri. Ketika Linguis nusantara dihadapkan
pada data-data tulis yaitu data-data bahasa Cia-Cia yang ditulis dengan
menggunakan aksara Hangeul, linguis Nusantara tidak bisa tidak harus menguasai
bahasa Korea dan aksara Hangeul untuk dapat memahami data-data tersebut. Ini jelas
memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Dari beberapa hal tadi menurut pendapat kami
solusi yang kami tawarkan untuk menanggulangi masalah bahasa suku Cia – cia ini
yaitu bukan suatu tindakan untuk menghentikan atau menghapus aksara Hangeul
tapi lebih ke tindakan meminimalisirkan penggunaan aksara Hangeul di suku Cia - cia
agar tidak timbulnya dampak negative. Adapun solusi yang dapat dilakukan yaitu:
1.
Seharusnya
pemerintah membentuk tim konservasi bahasa Cia-Cia oleh pemerintah Bau-Bau
dengan menggandeng Balai Bahasa terdekat atau Pusat Bahasa Republik Indonesia
sebagai rekan kerja. Fungsi Balai Bahasa atau Pusat Bahasa di sini adalah
sebagai konsultan sekaligus juga bila dibutuhkan dapat berperan sebagai
pelaksana upaya konservasi. Tim ini bertanggungjawab
untuk memikirkan, merumuskan dan mengambil langkah-langkah strategis
pemertahanan bahasa Cia-Cia dengan atau tanpa memutuskan kerja sama dengan
pemerintah Korea.
2.
Setelah
pemerintah membentuk tim tersebut, tim ini harus segera menyusun rencana kerja
jangka pendek dan jangka panjang untuk melakukan tindakan konkret yang
berhubungan dengan konservasi bahasa
3.
Tim
ini harus dapat menggenggam dukungan dari pemerintah daerah dan rakyat Bau-bau,
karena tanpa dukungan yang besar, masalah Cia-Cia tidak akan terselesaikan.
Karena dari apa yang telah kami paparkan di awal bahwa masyarakat Cia – cia
sebagian besar pro terhadap penggunaan aksara Hangeul-korea di Cia - cia
4.
Adapun
tindakan yang mungkin dapat dilakukan
oleh tim ini dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah adalah: (1) memastikan bahwa pemerintah daerah
menerbitkan Peraturan Daerah (PERDA) yang menyatakan bahwa (a) pengajaran
bahasa Hangeul hanya dilakukan pada matapelajaran muatan lokal bahasa Cia-Cia
saja, (b) untuk mata pelajaran lainnya wajib disampaikan dengan bahasa
pengantar lisan bahasa Indonesia atau Cia-Cia, dengan sistem tulis adalah
sistem latin, (2) memastikan bahwa tuturan bahasa Cia-Cia apapun yang ditulis
dalam bahasa Hangeul harus didampingi oleh tulisan dengan sistem penulisan
aksara latin. Ini untuk memastikan bahwa siswa Cia-Cia kenal juga pada huruf
latin.
5.
Tim
ini juga harus dapat membentuk beberapa orang (subtim) untuk dapat ikut
berpartisipasi dalam proses pengajaran aksara Hangeul. Subtim ini tidak hanya
berfungsi sebagai monitorer proses pengajaran, namun juga berfungsi petugas
magang program kerjasama pengajaran aksara Hangeul tersebut. Dengan terlibat
dalam proses pengajaran aksara Hangeul, subtim ini pastinya akan belajar aksara
Hangeul dan bahasa Korea. Kelak pengetahuan (berupa metode pengajaran Hangeul
yang praktis) yang subtim ini dapatkan selama proses kerjasama dengan
pemerintah Korea dapat digunakan untuk mengembangkan bahasa Cia-Cia dengan
menggunakan sistem tulis latin
6.
Setelah
masa berlaku kerjasama habis, tim konservasi harus dapat mendesak pemerintah
Bau-Bau untuk menyatakan diri tidak melajutkan kontrak kerjasama.
7.
Dan
kami piker kerja tim ini masih belum berakhir meskipun kerjasama pemerintah
Bau-Bau dan Korea telah berakhir. Tim konsevasi harus dapat melakukan
langkah-langkah konservasi lanjut karena meskipun kerjasama pemerintah Bau-Bau
telah selesai, status bahasa Cia-Cia yang bukan bahasa resmi menjadikan bahasa
Cia-Cia masih rentan punah. Adapun langkah-langkah lanjut yang harus dilakukan
terbagi dalam empat fase yaitu: (1) Standarisasi Bahasa Cia-Cia yaitu melakukan
pembakuan bahasa Cia-Cia dibidang ejaan, istilah, tatabahasa dan leksikon
sehingga kerancuan yang terjadi dalam masyarakat tentang bagaimana seharusnya
menuliskan kata dalam bahasa Cia-Cia dengan menggunakan aksara latin tidak
terjadi. (2) Renaisansi buku berbahasa Cia-Cia yaitu dengan cara memberikan
kesempatan kepada kaum intelektual, sastrawan, pendidik, budayawan
Cia-Cia untuk menulis buku sastra berbahasa Cia-Cia seperti kumpulan
syair, dongeng dan pantun berbahasa Cia-Cia dengan menggunakan huruf Latin. (3)
Promosi sastra dan budaya Cia-Cia melalui berbagai media seperti surat kabar
dan televisi. Forum-forum resmi seperti seminar, lokakarya dan konferensi
tentang sastra Cia-Cia harus diagendakan secara rutin tiap tahun. (4)
Konservasi Sastra Cia-Cia dengan cara melakukan kegiatan inventarisasi,
penelitian di bidang sastra dan bahasa, dan diskusi-diskusi tentang Cia-Cia.
8.
Ketika
kebugaran dan sintasan (survival) bahasa Cia-Cia telah didapat, maka
tim ini dapat dibubarkan. Selama masa kerjanya, tim konservasi harus dapat
meyakinkan pemerintah pusat untuk mengeluarkan kebijakan dan penegasan pada
pemerintah daerah yang ada di Indonesia bahwa kerjasama dengan pemerintah asing
semacam kerjasama pemerintah Bau-Bau dengan pemerintah Korea adalah salah dan
melanggar Undang-Undang, dan kesalahan selanjutnya tidak akan ditolelir.
Dampak yang
mungkin akan terjadi jika masalah suku cia – cia ini di biarkan begitu saja tampa
ada penenganan dan tidakan serius dari Pemerintah maka
kabupaten bau – bau khusus nya suku cia – cia akan melepaskan diri dari NKRI. Tentu kita semua tidak ingin itu sampai
terjadi. Semoga, kasus bahasa Cia-Cia akan menjadi
satu-satunya kasus terakhir yang berhubungan dengan bahasa-bahasa ibu di
Nusantara.
Dan juga penggunaan bahasa alay dan bahasa politisi dalam
kehidupan sehari – hari juga
merupakan suatu masalah yang tidak kalah pentingnya dari permasalahan bahasa
suku cia – cia. Berikut adalah contoh bahasa alay yang sering digunakan oleh
anak remaja Indonesia dalam membuat pesan singkat atau SMS. Dan juga bahasa
Politisi yang sering digunakan oleh para
pejabat Negara :
Bahasa Alay
|
||||||||
1 | Anak baru gede | : | ABG | 20 | Hate (benci) | : | H8 | |
2 | All for you | : | A4u | 21 | I see (saya tau) | : | IC | |
3 | Face to face (Berhadapan) | : | F2F | 22 | Jaga Image | : | Jaim | |
4 | Friend (teman) | : | F? | 23 | Jiji banget | : | Jibang | |
5 | Before (sebelumnya) | : | B4 | 24 | Kasian deh loe | : | KDL | |
6 | Bosan total | : | BT | 25 | Itu derita loe | : | IDL | |
7 | Because (sebab) | : | Cz | 26 | Emang gue pikirin | : | IGP | |
8 | See you (sampai jumpa) | : | CU | 27 | Suka – suka gue | : | SSG | |
9 | Emang bener | : | EmBer | 28 | Asal bunyi | : | AsBun | |
10 | By The Way | : | Bdw | 29 | Cowok | : | Co | |
11 | Kurang pergaulan | : | Kuper | 30 | Cewek | : | Ce | |
12 | Telat mikir | : | TelMi | 31 | Gak pakai lama | : | GPL | |
13 | Gagap tekhnologi | : | GapTek | 32 | Pacar | : | Gebetan | |
14 | Jalan jalan sore | : | JJs | 33 | Dan | : | And | |
15 | Percaya diri | : | Pe_De | 34 | OH. My God | : | OMG | |
16 | Happy Birth Day | : | HBD | 35 | Salah tingkah | : | SalTing | |
17 | Top banget | : | Top BGT | 36 | Ujung ujung duit | : | Uud | |
18 | Curi-curi perhatian guru | : | Ccpg | 37 | Teman tapi mesra | : | Ttm | |
19 | 0rang gila | : | Orgil | 38 | Tidur | : | ZZZzz |
Masalah ini mempunyai pengaruh negatif bagi kelangsungan
bahasa Indonesia. Pengaruh tersebut antara lain sebagai berikut ini :
1.
Masyarakat Indonesia tidak
mengenal lagi bahasa baku.
2.
Masyarakat Indonesia tidak memakai
lagi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
3.
Masyarakat Indonesia menganggap
remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah
menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
4.
Dulu anak – anak kecil bisa
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi sekarang anak kecil
lebih menggunakan bahasa alay. Misalnya dulu kita memanggil orang tua dengan
sebutan ayah atau ibu, tapi sekarang anak kecil memanggil ayah atau ibu dengan
sebutan bokap atau nyokap.
5.
Penulisan bahasa indonesia menjadi
tidak benar. Yang mana pada penulisan bahasa indonesia yang baik dan, hanya
huruf awal saja yang diberi huruf kapital, dan tidak ada penggantian huruf
menjadi angka dalam sebuah kata ataupun kalimat.”
Jika hal ini terus
berlangsung, dikahawatirkan akan menghilangkan budaya berbahasa Indonesia
dikalangan remaja bahkan dikalangan anak-anak. Karena bahasa Indonesia
merupakan bahasa remi negara kita dan juga sebagai identitas bangsa.
Melihat dampak negative yang terjadi sebagai akibat penggunaan
bahasa alay ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
meminimalisir dampak negatif penggunaan bahasa alay ini. Karena menurut pendapat kami, untuk
menghilangkannya kami rasa itu sangatlah sulit atau bisa dikatakan tidak
mungkin karna ini telah menjadi suatu kebiasaan. Dan beberapa cara itu yaitu
sebagai berikut :
v Yang pertama, sebaiknya guru-guru bahasa Indonesia di sekolah lebih
menekankan lagi bagaimana cara penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
menurut EYD.
v Yang kedua, pada saat berkomunikasi kita harus bisa membedakan dengan
siapa kita berbicara, pada situasi formal atau nonformal. Dengan ini kita bisa
menyeimbangkan penggunaan bahasa dengan baik agar bahasa alay tidak mendominasi
kosakata yang kita miliki.
v Yang ketiga, mengurangi kebiasaan mengirim pesan singkat dengan tulisan
yang aneh. Seperti singkatan kata yang menjadi “yg”dan bukan “yank”,
disamping mudah membacanya akan lebih efisien waktu dan tidak membuat si
penerima pesan merasa kebingungan membaca tulisan kita.
v Yang keempat, banyak membaca tulisan yang menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Artinya di dalam buku tersebut terdapat tulisan yang
formalitas dan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Misalnya wacana,
berita, ataupun informasi dalam surat kabar.
v Yang kelima, sebaiknya kita rajin membaca KBBI, karena banyak kosakata
bahasa Indonesia yang sudah banyak dilupakan. Ini adalah salah satu wujud
bangga terhadap bahasa kita
Cara yang seharusnya untuk mengurangi budaya berbahasa politisi
yang sering digunakan oleh para pejabat
Negara yaitu :
1.
Seorang politisi seharusnya dibekali penggunaan bahasa yang baik Dan
benar. Dia harus menguasai unsur-unsur bahasa baru bisa mengeluarkan statement.
Seringkali statement yang kita dengar tidak memenuhi syarat kebakuan.
Ceplas-ceplos.
2.
Kita bisa melihat karakter dan
sikap mereka kalau sedang diwawancarai. Plin-plan. Omong A hari ini, besok
omong B. Menggunakan bahasa-bahasa kasar, menyakiti orang, melecehkan. Sebagai
contoh, di televisi politisi Ruhut Sitompul mengatakan: “Bangsat!”, sahutnya
ketika beradu argumen di parlemen karena tak mampu menahan diri melawan
“kata-kata” politikus dari partai
lain. Bak kehabisan akal, disebabkan keterbatasan kosa kata. Bahasa yang digunakan tak bernalar, tak berproses berfikir, sehingga kerapkali kita sebut "Asbun".
lain. Bak kehabisan akal, disebabkan keterbatasan kosa kata. Bahasa yang digunakan tak bernalar, tak berproses berfikir, sehingga kerapkali kita sebut "Asbun".
3.
Jadi, sebenarnya perlu seorang
ahli bahasa di negeri ini sebagai juri, untuk menguji statement para elit
politik kita, supaya yang mendengar tidak kebingungan dan salah tafsir.
Jelasnya, para politisi perlu belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga nalarnya juga benar. Sangat perlu kalau setiap politisi yang mengeluarkan statement perlu diuji bahasanya. Hemat saya, saat seorang politisi yang berbicara hendaknya memikirkan terlebih dahulu statement yang ingin dikeluarkan agar yang mendengar mudah mencernanya.
Jelasnya, para politisi perlu belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga nalarnya juga benar. Sangat perlu kalau setiap politisi yang mengeluarkan statement perlu diuji bahasanya. Hemat saya, saat seorang politisi yang berbicara hendaknya memikirkan terlebih dahulu statement yang ingin dikeluarkan agar yang mendengar mudah mencernanya.
Demikianlah
penjelasan kami tentang penggunaan bahasa suku Cia – cia, penggunaan bahasa
alay di kalangan remaja dan bahasa politisi yang digunakan oleh kalangan
pejabat Negara yang tampa mereka dan bahkan kita sadari bahwa itu semua dapan
menyebabkan memudarnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
DAFTAR PUSTAKA
Karya Ilmiah
- Adina Dwirezanti, 2012, “Budaya Populer Sebagai Alat Diplomasi Publik:
- Analisa Peran Korean Wave Dalam Diplomasi Publik Korea Periode
Internet
- Agenda dan Prestasi Pemerintah Kota Baubau, http://www.baubaukota.go.id diunduh pada tanggal 24 Januari 2013.
- Los Angeles Times, Korea Scripts an Indonesian Tribes survival, http://articles.latimes.com/2009/dec/27/world/la-fg-korea-alphabet27-2009dec27
- http://samedi.livejournal.com/357274 .html, diakses pada tanggal 5 Mei 2013 pukul 13.12 WITA
- http://www.seoulselection.com/publishing/?q=design , diakses pada tanggal 5 Mei 2011, pukul 13.07 WITA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar